Potret Pluralisme Indonesia
Kamis, 19 Desember 2019
Tulis Komentar
Potret Pluralisme Indonesia
Penyerangan
massa Front Pembela Islam (FPI) atas Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di silangan Monas pada 1 Juni 2008
adalah sebuah pekerjaan rumah besar bagi persoalan kebebasan beragama
dan berkeyakinan di Indonesia. Penyerangan itu adalah bukti bahwa
pluralisme belum sepenuhnya bisa dimaknai semua pihak. Keluarnya Surat
Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri mengenai penghentian seluruh
aktivitas Ahmadiyah pada 9 Juni 2008 menjadi bukti bahwa pluralisme
masih tak memiliki cukup ruang untuk dirayakan. Yang lebih ironis,
pluralisme difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Fatwa haram, juga berbagai gerakan antipluralisme lain yang dimotori oleh sejumlah kelompok Islam fundamentalis, sejatinya hanya merupakan ”ketakutan”. Mereka mengira bahwa pluralisme lebih dekat pada relativisme dan sinkretisme. Relativisme mengacu pada kepercayaan bahwa semua hal bisa saja benar atau bisa saja salah. Konsekuensi dari paham ini adalah munculnya doktrin bahwa kebenaran semua agama sama, dan oleh kelompok antipluralis dimaknai sebagai sikap menyamakan Islam dengan agama yang lain. Sedangkan sinkretisme adalah penciptaan agama baru dengan memilah-milah dan mengambil unsur-unsur tertentu dari agama-agama itu untuk dijadikan sebagai satu bagian integral (Alwi Shihab, 1999: 41-42).
Pluralisme bukanlah sinkretisme ataupun relativisme. Pluralisme adalah kesadaran untuk menerima kebenaran dari (agama) yang lain tanpa menafikan atau menisbikan kebenaran (agama) sendiri. Hingga, dalam kesadaran semacam itu tak ada lagi klaim kebenaran (claim of truth) yang bersifat tunggal-terpusat sehingga memungkinkan terwujudnya sikap toleransi satu agama terhadap (adanya) kebenaran dalam agama yang lain.
Hal
tersebut setidaknya terlihat dari makna kata pluralisme itu sendiri.
Kata ”pluralisme” berasal darikata dasar ”plural” atau dalam bahasa
Indonesia berarti kemajemukan.Menurut kamus Oxford Advanced
Learner’sDictionary(1989), secara terminologis pluralisme adalah: (a)
Existance in one of a number of groups that belong to different races
or have different political or religious beliefs (keberadaan sejumlah
kelompok orang dalam satu masyarakat yang berasal dari ras, pilihan
politik, dan kepercayaan agama yang berbeda-beda), dan (b)principle that
these different groups can live together peacefully in one society
(prinsip bahwa kelompok-kelompok yang berbeda ini bisa hidup bersama
secara damai dalam satu masyarakat).
Ketidakmampuan mengafirmasi nilai positif pluralismeatau pemahaman dan pemaknaan terhadapnya yang rematur membuat persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia selalu menemui jalan buntu. Akhirnya, klaim kebenaran yang menolak dialog menjadi lazim di kalangan organisasi Islam tertentu, terutama yang bercorak fundamentalis. Maka, tak heran jika perbedaan dalam cara beragama maupun berkeyakinan kerap menjadi sumber konflik horisontal di tengah masyarakat kita.
Inilah yang menyebabkan kesenjangan terlihat menganga antara kenyataan keberagaman dengan kesadaran keberagama(a)n. Indonesia adalah negeri yang majemuk, tapi ”gagal” merayakan kesalinghormatan atas kemajemukan itu. Masalah utama dari kegagalan pemaknaan atas pluralisme ini, sejatinya berangkat dari ”ke-aku-an” Melacak Kesalehan Transformatif atau egoisme setiap kelompok agama atau keyakinan yang berujung pada klaim atas kebenaran. Sehingga, ”akuindividu” selalu berusaha tampil mendominasi dan berusaha menaklukkan ”yang lain.” Dalam hubungan di mana eksistensi (ke-)aku(-an) begitu kentara, ”yang lain” atau ”yang selain aku” menjadi ”harus” bergabung dengan ”aku” dan harus sesuai dengan jalannya kehendak ”aku” tadi. Maka, di sini, identitas menjadi sesuatu yang penting untuk membedakan antara ”aku” dan ”selain aku.” Dalam konteks inilah, perbedaan ”identitas” menjadi soal yang selalu menghambat perayaan pluralisme di negeri ini.
Di
tengah debat panjang mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan,
rasanya kita mesti belajar pada Ahmad Wahib (1942-1973). Di mata Wahib,
perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang harus dirayakan, bukan disesali
atau dibenci. Bagi Wahib, perbedaan semestinya disikapi dengan cara
melebur ”aku-individu” ke dalam realitas yang multivarian: menyelaminya,
memaknainya satu per satu. Dengan begitu, kita bisa melihat ”warna yang
beraneka rona” demikian Wahib menyebutnya dan merayakan perbedaan
sebagai rahmat Tuhan.
Oleh: Fahd Pahdepie @fahdpahdepie
Belum ada Komentar untuk "Potret Pluralisme Indonesia"
Posting Komentar