Seekor Keledai Memasuki Kerajaan Surga
Kamis, 19 Desember 2019
Tulis Komentar
Puisi Mario F. Lawi
Harum surainya seperti lidah sungai yang melontarkan tombak ke jantung udara.
Seorang perempuan membuntutinya. Ia baru saja melewati Sabat yang panjang, renta
dan melelahkan. Bagian-bagian bawah tembok kota yang terbelah meninggalkan
nganga sebesar lubang jarum. Ia mengingat kembali iota para Yunani sebelum berani
bermimpi tentang kebangkitan, jalan ke surga, sumber air hidup, burung merpati dan
nyala api. Perempuan itu menyentuhnya dengan tangan beraroma tepung gandum.
Apa yang kauminta daripadaku, Puan? Aroma mausoleum masih melekat pada
beban terakhirku. Dari atas punggungku ia banyak berbicara tentang lubang jarum
dan revolusi, tentang Romawi dan Yahudi, tentang kesedihan-kesedihan induk ayam
dan airmata bapanya yang jatuh untuk kedua kalinya. Ke arahku ia menjura
padahal semata cahaya yang menghampiriku.
Di ujung tembok itu ia menoleh. Adegan dari masa lalu diputar kembali: Anak-anak
melambaikan rumput segar ke puncak laparnya, ibu-ibu merendahkan buli-buli hingga
ke tanah. Air menyembul dari bekas tapak kakinya. Jika ia menunduk, akankah ia lihat
bayangnya terpantul? Seorang perempuan tak lagi berjalan, tak lagi menundukkan
kepala. Ia melayang dan kakinya tak menyentuh genangan.
Telah kupikul kuk yang terpasang, kau malah senang menjerumuskan aku ke dalam
umpama. Di punggungku tergeletak perkakas yang terbuat dari merah yang luas
dan ungu yang dijatuhkan dari atas. Tujuh puluh tujuh lubang tak akan cukup
menjerumuskan sebab mataku mahir memilah muslihat, membedakan gerak gugup
mempelai pemalu dari pecinta mahir di balik tabir.
Ia kibaskan surainya untuk para pembangkang yang semakin lama semakin kecil
terlihat dari antara sepasang kaki depannya. Bersediakah kau menuliskan kisahku? Juga untuk perempuan yang tak henti mendoakannya. Kuseret kelak si penjatuh ke
hadapanmu, Puan, agar leluasa kau menaklukkannya.
Naimata, 2014
Mario F. Lawi @mariolawi
SEEKOR KELEDAI MEMASUKI KERAJAAN SURGA
Harum surainya seperti lidah sungai yang melontarkan tombak ke jantung udara.
Seorang perempuan membuntutinya. Ia baru saja melewati Sabat yang panjang, renta
dan melelahkan. Bagian-bagian bawah tembok kota yang terbelah meninggalkan
nganga sebesar lubang jarum. Ia mengingat kembali iota para Yunani sebelum berani
bermimpi tentang kebangkitan, jalan ke surga, sumber air hidup, burung merpati dan
nyala api. Perempuan itu menyentuhnya dengan tangan beraroma tepung gandum.
Apa yang kauminta daripadaku, Puan? Aroma mausoleum masih melekat pada
beban terakhirku. Dari atas punggungku ia banyak berbicara tentang lubang jarum
dan revolusi, tentang Romawi dan Yahudi, tentang kesedihan-kesedihan induk ayam
dan airmata bapanya yang jatuh untuk kedua kalinya. Ke arahku ia menjura
padahal semata cahaya yang menghampiriku.
Di ujung tembok itu ia menoleh. Adegan dari masa lalu diputar kembali: Anak-anak
melambaikan rumput segar ke puncak laparnya, ibu-ibu merendahkan buli-buli hingga
ke tanah. Air menyembul dari bekas tapak kakinya. Jika ia menunduk, akankah ia lihat
bayangnya terpantul? Seorang perempuan tak lagi berjalan, tak lagi menundukkan
kepala. Ia melayang dan kakinya tak menyentuh genangan.
Telah kupikul kuk yang terpasang, kau malah senang menjerumuskan aku ke dalam
umpama. Di punggungku tergeletak perkakas yang terbuat dari merah yang luas
dan ungu yang dijatuhkan dari atas. Tujuh puluh tujuh lubang tak akan cukup
menjerumuskan sebab mataku mahir memilah muslihat, membedakan gerak gugup
mempelai pemalu dari pecinta mahir di balik tabir.
Ia kibaskan surainya untuk para pembangkang yang semakin lama semakin kecil
terlihat dari antara sepasang kaki depannya. Bersediakah kau menuliskan kisahku? Juga untuk perempuan yang tak henti mendoakannya. Kuseret kelak si penjatuh ke
hadapanmu, Puan, agar leluasa kau menaklukkannya.
Naimata, 2014
Mario F. Lawi @mariolawi
Belum ada Komentar untuk "Seekor Keledai Memasuki Kerajaan Surga"
Posting Komentar