Geger Di Desa Payah
Selasa, 28 Januari 2020
Tulis Komentar
Geger Di Desa Payah
Desa Payah di negeri Amplop nampak tegang. Bahkan sejak ayam jantan belum berkokok. Dua kelompok warga akan berhadap-hadapan. Entah apa yang akan terjadi kemudian. Hanya sebatas adu mulut atau adu otot. Yang pasti, perang sudah dimulai. Lewat surat-surat misterius. Lewat tulisan-tulisan diatas kardus sisa pedagang asongan. Atau lewat buah bibir. Juga lewat angin yang berhembus.
Perang diawali dengan kata-kata. Desa Payah bising. Seluruh penduduk yang datang dari berbagai pelosok negeri Amplop tak bisa menghindar. Mereka mulai meramal apa yang akan terjadi besok pagi di pelataran kantor desa.
Matahari baru saja membuka mata. Cahaya menguning di Ufuk Timur. Ketika dua kelompok massa mulai menebar Intel masing-masing. Melihat situasi lapangan. Di depan gerbang kantor desa. Mata Intel-intel itu jelalatan. Mengawasi setiap gerak gerik. Lalu perlahan menghilang. Setelah dimulai dengan kata-kata, perang dilanjutkan dengan saling mengintai lokasi.
Bak sedang berlomba. Mereka memacu kecepatan langkahnya untuk tiba lebih awal. Mirip pedagang kecil yang berebut lapak. Tujuan mereka satu. Menduduki gerbang utama Balai Desa Payah. Gerbang sepanjang tiga meter terbuat dari baja itu kokoh. Diarsiteki pandai besi paling jago di Desa Payah. Meskipun berumur puluhan tahun, gerbang itu tak berkarat sebagai penanda umurnya. Disitu jalur lalu lintas kepala desa. Keluar dan masuk balai desa.
Dua kelompok warga itu sudah dikenal masyarakat luas. Tidak hanya di Desa Payah tapi juga di desa-desa nun jauh. Keduanya mewakili kutub politik di desa Payah. Orang cerdik pandai menyebut dua kelompok itu sebagai orang-orang yang diperalat. Mereka merupakan wujud nyata kelanjutan dari perebutan tahta Kepala Desa Payah dua tahun lalu. Sejak itu, keduanya bahkan sudah saling mengidentifikasi diri. Oleh yang kalah, kelompok yang menangi pemilihan kepala desa disebut sebagai kaum kadal. Sebutan lainnya kaum kalalawar. Sementara yang menang menyebut kelompok yang kalah sebagai kelompok kodok. Atau juga kaum nasi bungkus. Atau kelompok nasi aking. Olok-olokan bernada negatif ini sekaligus cara keduanya mengenali kawan atau lawan.
Ketegangan itu sebenarnya sudah mulai terasa dua hari lalu. Saat itu tersiar kabar yang bikin panas hati dan kuping. Terutama bagi kelompok pendukung kepala desa. "Kelompok yang kalah akan menggeruduk balai desa". Si Toyib yang juga Kepala Desa Payah dianggap tidak cakap. Tidak bisa memimpin. Bodoh. Bahkan terbodoh bila dibanding dengan kepala desa lain. Juga terbodoh sepanjang sejarah Desa Payah. Sekalipun si Thoyib itu berpendidikan tinggi. Juga berpengalaman mumpuni. Thoyib tetap saja dianggap tidak becus. Si Thoyib harus meletakan jabatannya besok.
Kelompok yang kalah rupanya tidak pernah tinggal diam. Bahkan sejak Thoyib resmi berkantor di gedung mewah itu. Malam harinya, mereka baru bisa terlelap setelah lelah memikirkan cara menjatuhkan si Thoyib. Meskipun untuk sementara selalu gagal. Tak pernah dapat menemukan cara terbaik. Mimpi malamnya pun hanya soal Si Thoyib. Mereka selalu mencari celah kesalahan untuk menjatuhkan Thoyib di tengah jalan. Sebelum masa jabatannya berakhir.
Kabar itu rupanya sampai juga di telinga Nyai Lemper. Ia terkaget-kaget. Maklum, perempuan paruh baya itu merupakan pendukung utama Kades Thoyib. Tapi ia tak ingin percaya begitu saja. Ia bergegas menyusuri jalan-jalan desa yang dipenuhi pepohonan lebat dan rumput liar. Rupanya kabar itu bukan kabar angin. Ia mendapati banyak tulisan dari sisa kardus yang ditempel di kayu. Tembok. pepohonan. Digantung di ranting-ranting. Isi tulisannya hampir sama. Undangan terbuka bagi warga desa untuk bersatu menuntut Kades terbodoh itu mundur. Wajah perempuan paruh baya itu merah padam seketika.
"Kurang ajar. Biadab. Kami akan menghadang kalian, kaum kodok. Kami tidak akan membiarkan niat jahat kalian mulus," gigi Nyai Lemper gemeretak. Ia geram. Nyai Lemper dikenal sebagai perempuan sukses di desa itu. Ia juga masuk dalam daftar kaum elite di desa Payah. Nyai Lemper bukan perempuan biasa. Ia punya barisan pendukung fanatik. Meskipun mayoritas pendukungnya laki-laki.
Ia melesat cepat kembali ke rumah berlantai marmer. Segera ia kumpulkan barisan pendukungnya. Wajah cantiknya sedang menunjukkan sisi lain. Ia tampak garang. Tak butuh waktu lama, barisan pendukungnya kini duduk bersilang kaki. Mereka penuhi ruang tengah rumah mewah itu. Warga lain tak berani mendekat untuk bertanya apa gerangan yang terjadi. Sesekali mereka mengintai. Sambil berharap pembicaraan di rumah berlapis keramik impor itu terbawa angin dari sela-sela jendela.
"Dengarkan baik-baik. Aku ingin kalian semua hadir di depan balai desa besok siang. Datanglah lebih awal. Penuhi gerbang utama. Siapkan diri. Tempatkan orang-orang yang memiliki keahlian bela diri menghadapi lawan. Mereka, kaum nasi bungkus itu akan buat onar di balai desa. Mereka akan memaksa Thoyib untuk meletakan jabatannya besok. Harus besok. Dan kita harus membela Thoyib. Ajak juga jawara-jawara dari desa lain. Bekali diri masing-masing. Aku hanya akan membantu sebagian kecilnya," titah Nyai Lemper dengan mata melotot dari atas kursi empuknya.
Satu persatu ia amati sorot mata pengikutnya. Ia ingin memastikan ada tidaknya para jawara yang menolak.
Kami siap
Kami siap
Kami siap
Belasan orang pilihan itu sahut menyahut.
"Jangankan tenaga, darah kami siapkan untuk membela Thoyib" Sahut yang lain.
"Thoyib adalah putra terbaik kita. Dia warga asli Desa Payah. Dia bukan pendatang" teriak yang lain. Nyai Lemper mengangguk. Kepalanya agak menunduk. Sorot matanya tajam.
Saat baru saja melangkah meninggalkan barisan para jawara itu, langkahnya terhenti. "Tunggu dulu" ujarnya sambil membalikan kepala dengan tangan kiri menjulur. Seketika juga para jawara itu terpaku. Mereka memalingkan badan. "Warga yang kalian koordinir, harus menggunakan pakaian warna putih. Kecuali para jawara. Pakailah pakaian perguruan masing-masing. Aku mendapat informasi, mereka, kaum kodok akan kompak berseragam hitam," katanya lagi sambil berlalu meninggalkan para jawara yang perlahan menghilang dibalik pintu.
Pagi tiba. Gelombang massa mulai menyemut. Mereka datang dari seluruh sudut desa. Bahkan dari desa-desa lain di sekitar Desa Payah. Kelompok pembela Thoyib tiba lebih awal. Penuh. Tak kurang dari seribu orang. Mayoritas menggunakan baju putih dan peci putih. Identik dengan budaya pakaian kelompok agama. Sisanya menggunakan pakaian perguruan silat masing-masing. Warna seragamnya juga beraneka. Mereka membentuk pagar hidup di dalam halaman dan di luar pagar balai desa. Tak jauh dari lokasi mereka, suara orang mengaji dan sholawatan menggema dari balik toa masjid. Bahkan tempat orang beribadah itu juga dipenuhi pasukan pembela Thoyib. Sahut-sahutan. Seolah berlomba dengan ribuan pasang mata pasukan pembela yang berjejer di depan pintu pagar yang sedang mengawasi situasi.
Sementara itu, sepasang mata di seberang jalan desa tak berkedip mengamati apa yang sedang terjadi di depannya. Dia adalah seorang residivis penjudi kelas receh. Dia ingin menjadi saksi peristiwa hari ini. Tentu ia juga berharap bisa memenangi perjudian hari ini. Adu kuat dua kelompok massa hari ini rupanya jadi ajang perjudian bagi sebagian orang desa. Terutama para penjudi itu. Lama dinanti, kelompok yang berencana menjatuhkan Thoyib tak kunjung tiba. Pendukung Thoyib tetap tenang. Tetapi para penjudi itu mulai panik.
"Sial. Jangan sampai hari ini aku kalah lagi sebelum pertandingan dimulai. Sekarang waktu yang tepat mengalahkan bandar-bandar itu. Cepatlah muncul, keparat. Jangan jadi pengecut kalian," umpat Si Togel kesal lantaran kelompok yang satunya tak kunjung muncul. Hatinya mulai panas. Sepanas cuaca siang ini. Tenggorokannya kering. Sekering padang tandus perbukitan di belakang balai desa. Ia berharap menang judi agar bisa menikmati ciu oplosan cap tikus di warung langganannya.
Si Togel punya firasat yang kuat dan insting yang tajam. Ia ingat betul teori tentang kekuatan dan kelemahan dalam seni perang.
"Umumnya, dia yang lebih dulu menempati medan pertempuran untuk menantikan musuh; akan tenang. Dia yang datang belakangan dan tergesa-gesa ke dalam pertempuran akan letih". Ia ingat betul teori yang dia baca dari sebuah buku karya seorang ahli strategi perang asal Tiongkok itu.
Lewat tengah hari, mereka akhirnya nongol juga. Togel kegirangan bukan main. Tapi jumlahnya tak lebih dari dua ratus orang. Serba hitam. Baju hitam. Celana hitam. Plus ikat kepala warna hitam. Kening Togel kembali mengkerut. Bagaimana mungkin perang ini akan seimbang. Firasat kekalahan tiba-tiba menyerang otaknya. Meski begitu ia berharap ada kejutan. Adu otot dua kelompok itu sejatinya tetap terjadi. Dua kelompok itu kini hanya terpisah barisan pengaman. Negara amplop terpaksa menurunkan pasukan keamanan untuk menjaga agar tidak terjadi bentrok. Kondisi itu semakin membuat Togel makin geram.
"Mundur. Mundur. Mundurlah Thoyib. Mundurlah Thoyib sekarang juga," begitu yel-yel yang mereka nyanyikan berkali-kali. Seorang diantara mereka menjadi juru protes. Dia bertugas menyampaikan pendapat mewakili warga lain.
"Thoyib tidak becus. Desa ini diterjang banjir bandang. Tapi Thoyib tidak bisa antisipasi. Rumah kami tenggelam. Harta kami terbawa arus air. Thoyib tidak layak jadi Kades," teriak seorang yang mereka sebut orator. Tapi telinga Thoyib memang bukan telinga biasa. Entah dimana ia pagi hingga siang itu. Tak nampak batang hidungnya. Apalagi kepalanya.
Situasi tiba-tiba memanas. Para jawara berkumpul dalam satu barisan yang rapat. Hampir saja seluruh area pintu masuk dipadati kelompok para jawara dan pendukung lain.
"Kami hanya mengawal. Kami tidak mau si Thoyib dihinakan. Mereka itu bukan warga asli. Kalau tidak puas disini, silahkan pulang ke desa masing-masing. Kalau mereka menghina, kami tidak segan menyerang mereka," begitu kata seorang tokoh dari kelompok pendukung Thoyib kepada seorang pejabat keamanan. Matanya melotot. Urat leher nyaris saja pecah. Urat jidatnya membentang dari pangkal hidung hingga ubun-ubun.
Petugas keamanan negara akhirnya ambil sikap. Kedua kelompok harus dipisahkan. Para penuntut Thoyib untuk mundur terpaksa dipindahkan. Lebih dekat ke pemukiman warga. Saat itulah drama dimulai. Iring- iringan kelompok yang memprotes Thoyib dikawal petugas keamanan. Sementara kelompok pendukung terus membuntuti. Jarak antara kedua kelompok hanya dipisahkan petugas keamanan negara.
"Mundur mundur mundurlah Thoyib
Mundurlah sekarang juga," yel-yel itu menggema berulang-ulang. Seperti sudah disiapkan atau dilatih bersama beberapa hari sebelumnya. Mereka juga membentangkan tulisan-tulisan di poster dan kertas-kertas. Isinya membuka borok si Thoyib yang dinilai tak becus.
Yel-yel dan tulisan-tulisan itulah yang dianggap memprovokasi. Oleh kelompok pendukung Thoyib. Lalu emosi. Mereka membalasnya dengan caci maki yang tak kalah hinanya.
"Woy. Keparat. Kodok. Bangsat. PKI. Keluar kalian dari desa ini. Kalian cuma kelompok bayaran. Dibayar dengan nasi aking," teriak mereka. Keringat mengucur deras. Terik matahari semakin membuat situasi memanas. Emosi akhirnya tak kuasa dibendung. Sebagian anggota kelompok para jawara mulai melempar botol minuman ke arah lawan. Menyasar kepala dan muka lawan. Sumpah serapah mengiring botol-botol itu ke arah kepala lawan. Jalanan menjadi basah. Oleh air dari botol yang pecah.
Pada saat bersamaan, toa masjid Desa terus berbunyi. Melantunkan puji-pujian bagi manusia paling agung di muka bumi. Muhammad. Teladan bagi seluruh umat manusia. Contoh bagi seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Tapi, pujian kepada Rasul Muhammad itu rupanya hanya pemanis bibir. Tidak mengendap di dasar otak dan hati. Serangan itu terus dilancarkan. Justru saat sholawat itu menggema di langit Desa Payah.
Dinegeri Fir'aun, sholawat adalah cara terbaik meredam emosi. Seseorang yang sedang marah bisa tiba-tiba melunak bila mendengar orang lain membaca sholawat. Tak butuh waktu lama, emosi orang yang marah pasti mereda. Mereka tak mau masuk kategori orang yang paling kikir. Mereka mengikuti tuntunan Nabinya. Muhammad. "Sekikir-kikirnya orang adalah orang yang menolak membaca sholawat untuk Nabinya itu". Tapi, Desa Payah bukan negeri seribu dongeng. Di Desa Payah, syair-syair pujian itu bisa disalahgunakan untuk kepentingan politik.
Diantara pengikut para jawara itu justru merangsek masuk ke barisan lawan. Menyerang secara membabi-buta. Kelompok yang diserang kocar-kacir. Tak ada tanda-tanda akan ada perlawanan. Mereka rupanya sadar kalah jumlah.
"Timpukin... ayo timpukin...Pukul... pukul... lawan... lawan..." teriak si Togel sambil jingkrak-jingkrak kegirangan.
Saat hendak membuka jurus menyerang, petugas-petugas keamanan dengan cepat menjepit leher para jawara itu dari arah belakang. Menyeretnya keluar dari barisan. Sehingga rencana serangan itu batal. Dua kelompok itu akhirnya berhasil dilerai. Jurus-jurus yang mereka latih selama ini hilang seketika. Setiap yang nampak menyiapkan diri untuk menyerang, dengan sigap petugas menjepit lehernya dari belakang. Situasi akhirnya dikendalikan sepenuhnya oleh petugas keamanan negara amplop. Hingga sore, kedua kelompok akhirnya membubarkan diri.
"Ah, sial. Petugas sialan. Harusnya biarkan saja mereka saling timpuk," umpat Togel tak habis-habis sambil terus melangkah pulang.
Sementara para penjudi harap-harap cemas. Hari itu menjadi hari sial bagi si Togel. Juga teman-temannya. Niat pesta Miras gagal total. Ia pulang dengan wajah lesu. Bandar menang lagi. Sementara si Thoyib kegirangan bukan kepalang. Rupanya, malam itu Thoyib menginap di kantor desa. Ia tidur di kursi jabatannya. Ia takut kursi itu benar-benar jatuh ke kelompok kodok. Ia takut, upaya melengserkannya benar-benar terwujud. Tapi, jelang sore Si Thoyib tertawa puas. Ia bahagia. Kursi Kades bisa ia pertahankan. Sambil menyeruput kopi sore, ia bersiul sambil tersenyum.
Perang diawali dengan kata-kata. Desa Payah bising. Seluruh penduduk yang datang dari berbagai pelosok negeri Amplop tak bisa menghindar. Mereka mulai meramal apa yang akan terjadi besok pagi di pelataran kantor desa.
Matahari baru saja membuka mata. Cahaya menguning di Ufuk Timur. Ketika dua kelompok massa mulai menebar Intel masing-masing. Melihat situasi lapangan. Di depan gerbang kantor desa. Mata Intel-intel itu jelalatan. Mengawasi setiap gerak gerik. Lalu perlahan menghilang. Setelah dimulai dengan kata-kata, perang dilanjutkan dengan saling mengintai lokasi.
Bak sedang berlomba. Mereka memacu kecepatan langkahnya untuk tiba lebih awal. Mirip pedagang kecil yang berebut lapak. Tujuan mereka satu. Menduduki gerbang utama Balai Desa Payah. Gerbang sepanjang tiga meter terbuat dari baja itu kokoh. Diarsiteki pandai besi paling jago di Desa Payah. Meskipun berumur puluhan tahun, gerbang itu tak berkarat sebagai penanda umurnya. Disitu jalur lalu lintas kepala desa. Keluar dan masuk balai desa.
Dua kelompok warga itu sudah dikenal masyarakat luas. Tidak hanya di Desa Payah tapi juga di desa-desa nun jauh. Keduanya mewakili kutub politik di desa Payah. Orang cerdik pandai menyebut dua kelompok itu sebagai orang-orang yang diperalat. Mereka merupakan wujud nyata kelanjutan dari perebutan tahta Kepala Desa Payah dua tahun lalu. Sejak itu, keduanya bahkan sudah saling mengidentifikasi diri. Oleh yang kalah, kelompok yang menangi pemilihan kepala desa disebut sebagai kaum kadal. Sebutan lainnya kaum kalalawar. Sementara yang menang menyebut kelompok yang kalah sebagai kelompok kodok. Atau juga kaum nasi bungkus. Atau kelompok nasi aking. Olok-olokan bernada negatif ini sekaligus cara keduanya mengenali kawan atau lawan.
Ketegangan itu sebenarnya sudah mulai terasa dua hari lalu. Saat itu tersiar kabar yang bikin panas hati dan kuping. Terutama bagi kelompok pendukung kepala desa. "Kelompok yang kalah akan menggeruduk balai desa". Si Toyib yang juga Kepala Desa Payah dianggap tidak cakap. Tidak bisa memimpin. Bodoh. Bahkan terbodoh bila dibanding dengan kepala desa lain. Juga terbodoh sepanjang sejarah Desa Payah. Sekalipun si Thoyib itu berpendidikan tinggi. Juga berpengalaman mumpuni. Thoyib tetap saja dianggap tidak becus. Si Thoyib harus meletakan jabatannya besok.
Kelompok yang kalah rupanya tidak pernah tinggal diam. Bahkan sejak Thoyib resmi berkantor di gedung mewah itu. Malam harinya, mereka baru bisa terlelap setelah lelah memikirkan cara menjatuhkan si Thoyib. Meskipun untuk sementara selalu gagal. Tak pernah dapat menemukan cara terbaik. Mimpi malamnya pun hanya soal Si Thoyib. Mereka selalu mencari celah kesalahan untuk menjatuhkan Thoyib di tengah jalan. Sebelum masa jabatannya berakhir.
Kabar itu rupanya sampai juga di telinga Nyai Lemper. Ia terkaget-kaget. Maklum, perempuan paruh baya itu merupakan pendukung utama Kades Thoyib. Tapi ia tak ingin percaya begitu saja. Ia bergegas menyusuri jalan-jalan desa yang dipenuhi pepohonan lebat dan rumput liar. Rupanya kabar itu bukan kabar angin. Ia mendapati banyak tulisan dari sisa kardus yang ditempel di kayu. Tembok. pepohonan. Digantung di ranting-ranting. Isi tulisannya hampir sama. Undangan terbuka bagi warga desa untuk bersatu menuntut Kades terbodoh itu mundur. Wajah perempuan paruh baya itu merah padam seketika.
"Kurang ajar. Biadab. Kami akan menghadang kalian, kaum kodok. Kami tidak akan membiarkan niat jahat kalian mulus," gigi Nyai Lemper gemeretak. Ia geram. Nyai Lemper dikenal sebagai perempuan sukses di desa itu. Ia juga masuk dalam daftar kaum elite di desa Payah. Nyai Lemper bukan perempuan biasa. Ia punya barisan pendukung fanatik. Meskipun mayoritas pendukungnya laki-laki.
Ia melesat cepat kembali ke rumah berlantai marmer. Segera ia kumpulkan barisan pendukungnya. Wajah cantiknya sedang menunjukkan sisi lain. Ia tampak garang. Tak butuh waktu lama, barisan pendukungnya kini duduk bersilang kaki. Mereka penuhi ruang tengah rumah mewah itu. Warga lain tak berani mendekat untuk bertanya apa gerangan yang terjadi. Sesekali mereka mengintai. Sambil berharap pembicaraan di rumah berlapis keramik impor itu terbawa angin dari sela-sela jendela.
"Dengarkan baik-baik. Aku ingin kalian semua hadir di depan balai desa besok siang. Datanglah lebih awal. Penuhi gerbang utama. Siapkan diri. Tempatkan orang-orang yang memiliki keahlian bela diri menghadapi lawan. Mereka, kaum nasi bungkus itu akan buat onar di balai desa. Mereka akan memaksa Thoyib untuk meletakan jabatannya besok. Harus besok. Dan kita harus membela Thoyib. Ajak juga jawara-jawara dari desa lain. Bekali diri masing-masing. Aku hanya akan membantu sebagian kecilnya," titah Nyai Lemper dengan mata melotot dari atas kursi empuknya.
Satu persatu ia amati sorot mata pengikutnya. Ia ingin memastikan ada tidaknya para jawara yang menolak.
Kami siap
Kami siap
Kami siap
Belasan orang pilihan itu sahut menyahut.
"Jangankan tenaga, darah kami siapkan untuk membela Thoyib" Sahut yang lain.
"Thoyib adalah putra terbaik kita. Dia warga asli Desa Payah. Dia bukan pendatang" teriak yang lain. Nyai Lemper mengangguk. Kepalanya agak menunduk. Sorot matanya tajam.
Saat baru saja melangkah meninggalkan barisan para jawara itu, langkahnya terhenti. "Tunggu dulu" ujarnya sambil membalikan kepala dengan tangan kiri menjulur. Seketika juga para jawara itu terpaku. Mereka memalingkan badan. "Warga yang kalian koordinir, harus menggunakan pakaian warna putih. Kecuali para jawara. Pakailah pakaian perguruan masing-masing. Aku mendapat informasi, mereka, kaum kodok akan kompak berseragam hitam," katanya lagi sambil berlalu meninggalkan para jawara yang perlahan menghilang dibalik pintu.
Pagi tiba. Gelombang massa mulai menyemut. Mereka datang dari seluruh sudut desa. Bahkan dari desa-desa lain di sekitar Desa Payah. Kelompok pembela Thoyib tiba lebih awal. Penuh. Tak kurang dari seribu orang. Mayoritas menggunakan baju putih dan peci putih. Identik dengan budaya pakaian kelompok agama. Sisanya menggunakan pakaian perguruan silat masing-masing. Warna seragamnya juga beraneka. Mereka membentuk pagar hidup di dalam halaman dan di luar pagar balai desa. Tak jauh dari lokasi mereka, suara orang mengaji dan sholawatan menggema dari balik toa masjid. Bahkan tempat orang beribadah itu juga dipenuhi pasukan pembela Thoyib. Sahut-sahutan. Seolah berlomba dengan ribuan pasang mata pasukan pembela yang berjejer di depan pintu pagar yang sedang mengawasi situasi.
Sementara itu, sepasang mata di seberang jalan desa tak berkedip mengamati apa yang sedang terjadi di depannya. Dia adalah seorang residivis penjudi kelas receh. Dia ingin menjadi saksi peristiwa hari ini. Tentu ia juga berharap bisa memenangi perjudian hari ini. Adu kuat dua kelompok massa hari ini rupanya jadi ajang perjudian bagi sebagian orang desa. Terutama para penjudi itu. Lama dinanti, kelompok yang berencana menjatuhkan Thoyib tak kunjung tiba. Pendukung Thoyib tetap tenang. Tetapi para penjudi itu mulai panik.
"Sial. Jangan sampai hari ini aku kalah lagi sebelum pertandingan dimulai. Sekarang waktu yang tepat mengalahkan bandar-bandar itu. Cepatlah muncul, keparat. Jangan jadi pengecut kalian," umpat Si Togel kesal lantaran kelompok yang satunya tak kunjung muncul. Hatinya mulai panas. Sepanas cuaca siang ini. Tenggorokannya kering. Sekering padang tandus perbukitan di belakang balai desa. Ia berharap menang judi agar bisa menikmati ciu oplosan cap tikus di warung langganannya.
Si Togel punya firasat yang kuat dan insting yang tajam. Ia ingat betul teori tentang kekuatan dan kelemahan dalam seni perang.
"Umumnya, dia yang lebih dulu menempati medan pertempuran untuk menantikan musuh; akan tenang. Dia yang datang belakangan dan tergesa-gesa ke dalam pertempuran akan letih". Ia ingat betul teori yang dia baca dari sebuah buku karya seorang ahli strategi perang asal Tiongkok itu.
Lewat tengah hari, mereka akhirnya nongol juga. Togel kegirangan bukan main. Tapi jumlahnya tak lebih dari dua ratus orang. Serba hitam. Baju hitam. Celana hitam. Plus ikat kepala warna hitam. Kening Togel kembali mengkerut. Bagaimana mungkin perang ini akan seimbang. Firasat kekalahan tiba-tiba menyerang otaknya. Meski begitu ia berharap ada kejutan. Adu otot dua kelompok itu sejatinya tetap terjadi. Dua kelompok itu kini hanya terpisah barisan pengaman. Negara amplop terpaksa menurunkan pasukan keamanan untuk menjaga agar tidak terjadi bentrok. Kondisi itu semakin membuat Togel makin geram.
"Mundur. Mundur. Mundurlah Thoyib. Mundurlah Thoyib sekarang juga," begitu yel-yel yang mereka nyanyikan berkali-kali. Seorang diantara mereka menjadi juru protes. Dia bertugas menyampaikan pendapat mewakili warga lain.
"Thoyib tidak becus. Desa ini diterjang banjir bandang. Tapi Thoyib tidak bisa antisipasi. Rumah kami tenggelam. Harta kami terbawa arus air. Thoyib tidak layak jadi Kades," teriak seorang yang mereka sebut orator. Tapi telinga Thoyib memang bukan telinga biasa. Entah dimana ia pagi hingga siang itu. Tak nampak batang hidungnya. Apalagi kepalanya.
Situasi tiba-tiba memanas. Para jawara berkumpul dalam satu barisan yang rapat. Hampir saja seluruh area pintu masuk dipadati kelompok para jawara dan pendukung lain.
"Kami hanya mengawal. Kami tidak mau si Thoyib dihinakan. Mereka itu bukan warga asli. Kalau tidak puas disini, silahkan pulang ke desa masing-masing. Kalau mereka menghina, kami tidak segan menyerang mereka," begitu kata seorang tokoh dari kelompok pendukung Thoyib kepada seorang pejabat keamanan. Matanya melotot. Urat leher nyaris saja pecah. Urat jidatnya membentang dari pangkal hidung hingga ubun-ubun.
Petugas keamanan negara akhirnya ambil sikap. Kedua kelompok harus dipisahkan. Para penuntut Thoyib untuk mundur terpaksa dipindahkan. Lebih dekat ke pemukiman warga. Saat itulah drama dimulai. Iring- iringan kelompok yang memprotes Thoyib dikawal petugas keamanan. Sementara kelompok pendukung terus membuntuti. Jarak antara kedua kelompok hanya dipisahkan petugas keamanan negara.
"Mundur mundur mundurlah Thoyib
Mundurlah sekarang juga," yel-yel itu menggema berulang-ulang. Seperti sudah disiapkan atau dilatih bersama beberapa hari sebelumnya. Mereka juga membentangkan tulisan-tulisan di poster dan kertas-kertas. Isinya membuka borok si Thoyib yang dinilai tak becus.
Yel-yel dan tulisan-tulisan itulah yang dianggap memprovokasi. Oleh kelompok pendukung Thoyib. Lalu emosi. Mereka membalasnya dengan caci maki yang tak kalah hinanya.
"Woy. Keparat. Kodok. Bangsat. PKI. Keluar kalian dari desa ini. Kalian cuma kelompok bayaran. Dibayar dengan nasi aking," teriak mereka. Keringat mengucur deras. Terik matahari semakin membuat situasi memanas. Emosi akhirnya tak kuasa dibendung. Sebagian anggota kelompok para jawara mulai melempar botol minuman ke arah lawan. Menyasar kepala dan muka lawan. Sumpah serapah mengiring botol-botol itu ke arah kepala lawan. Jalanan menjadi basah. Oleh air dari botol yang pecah.
Pada saat bersamaan, toa masjid Desa terus berbunyi. Melantunkan puji-pujian bagi manusia paling agung di muka bumi. Muhammad. Teladan bagi seluruh umat manusia. Contoh bagi seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Tapi, pujian kepada Rasul Muhammad itu rupanya hanya pemanis bibir. Tidak mengendap di dasar otak dan hati. Serangan itu terus dilancarkan. Justru saat sholawat itu menggema di langit Desa Payah.
Dinegeri Fir'aun, sholawat adalah cara terbaik meredam emosi. Seseorang yang sedang marah bisa tiba-tiba melunak bila mendengar orang lain membaca sholawat. Tak butuh waktu lama, emosi orang yang marah pasti mereda. Mereka tak mau masuk kategori orang yang paling kikir. Mereka mengikuti tuntunan Nabinya. Muhammad. "Sekikir-kikirnya orang adalah orang yang menolak membaca sholawat untuk Nabinya itu". Tapi, Desa Payah bukan negeri seribu dongeng. Di Desa Payah, syair-syair pujian itu bisa disalahgunakan untuk kepentingan politik.
Diantara pengikut para jawara itu justru merangsek masuk ke barisan lawan. Menyerang secara membabi-buta. Kelompok yang diserang kocar-kacir. Tak ada tanda-tanda akan ada perlawanan. Mereka rupanya sadar kalah jumlah.
"Timpukin... ayo timpukin...Pukul... pukul... lawan... lawan..." teriak si Togel sambil jingkrak-jingkrak kegirangan.
Saat hendak membuka jurus menyerang, petugas-petugas keamanan dengan cepat menjepit leher para jawara itu dari arah belakang. Menyeretnya keluar dari barisan. Sehingga rencana serangan itu batal. Dua kelompok itu akhirnya berhasil dilerai. Jurus-jurus yang mereka latih selama ini hilang seketika. Setiap yang nampak menyiapkan diri untuk menyerang, dengan sigap petugas menjepit lehernya dari belakang. Situasi akhirnya dikendalikan sepenuhnya oleh petugas keamanan negara amplop. Hingga sore, kedua kelompok akhirnya membubarkan diri.
"Ah, sial. Petugas sialan. Harusnya biarkan saja mereka saling timpuk," umpat Togel tak habis-habis sambil terus melangkah pulang.
Sementara para penjudi harap-harap cemas. Hari itu menjadi hari sial bagi si Togel. Juga teman-temannya. Niat pesta Miras gagal total. Ia pulang dengan wajah lesu. Bandar menang lagi. Sementara si Thoyib kegirangan bukan kepalang. Rupanya, malam itu Thoyib menginap di kantor desa. Ia tidur di kursi jabatannya. Ia takut kursi itu benar-benar jatuh ke kelompok kodok. Ia takut, upaya melengserkannya benar-benar terwujud. Tapi, jelang sore Si Thoyib tertawa puas. Ia bahagia. Kursi Kades bisa ia pertahankan. Sambil menyeruput kopi sore, ia bersiul sambil tersenyum.
#
Muhammad Subadri Jarawadu
Seorang Jurnalis di Jakarta yang berasal dari NTT
Tinggal di Bogor bersama istri dan dua anak
Belum ada Komentar untuk "Geger Di Desa Payah"
Posting Komentar