Mengukur Jarak
Kamis, 19 Desember 2019
Tulis Komentar
Puisi Esha Tegar Putra
akhirnya aku tahu, antara singgalang dan buahbatu
ada yang terentang serupa benang, yakni matamu; mata perdu
meski sesekali aku tersesat di jalan panjang dan tubuh jalang
bayangmu tumbang di antara serak bunyi pupuik batang padi
kiranya siapa yang lebih mengerti selain sunyi yang kian mati
matamu menyiratkan lubuk dalam, bayangan di dasarnya terkurung
terbenam juga angan, pantai panjang dikulum pasir bergaram
matamu menyiratkan sesuatu yang padam, sesuatu yang geram
antara singgalang dan buahbatu adalah rindu, begitulah seruku
teramat lapang ini langit, teramat sulit buat digigit
aku kian bergairah; di sini lembu, kuda, tempua, kecebong
segala binatang ikut berseru dari hunianku, ikut berseru sepi
jarak tak merupa benang pintalan biasa (bukan pintalan si tua yang
dengan gemetar menenun kenangan lama di helaian kain satin)
bilamana rindu ini padu menjadi bau gaharu, siapa yang bakal
sanggup menenun makna cinta yang berubah jadi perca?
isyarat mata perdumu, sekumparan kabut lembut penggenap kalut
tapi siapa yang sanggup menelungkupkan tanjungku ke arah lautmu?
kali saja pasir susut, singgalang merupa gundukan tanah biasa
tak bersuara tak berseru, dan buahbatu menghela itu rindu
di ini tahun pucuk cinta menumbuh baru, sesuatu yang padu
digenapkan tubuhmu, dengan bau lokan rebus dan amis susu lembu
akhirnya sajak jadi himpunan bahasa yang tak perlu diberi tahu
dan aku akan berucap mengenai jalang malam menjelma tubuhmu
kiranya kau tak mengerti, sajak tumbuh di dagumu, punggungmu
dadamu, di segala yang ada padamu menumbuhkan gairah sajak
Kandangpadati, 2008
Esha Tegar Putra@esha_tegar
Mengukur Jarak
akhirnya aku tahu, antara singgalang dan buahbatu
ada yang terentang serupa benang, yakni matamu; mata perdu
meski sesekali aku tersesat di jalan panjang dan tubuh jalang
bayangmu tumbang di antara serak bunyi pupuik batang padi
kiranya siapa yang lebih mengerti selain sunyi yang kian mati
matamu menyiratkan lubuk dalam, bayangan di dasarnya terkurung
terbenam juga angan, pantai panjang dikulum pasir bergaram
matamu menyiratkan sesuatu yang padam, sesuatu yang geram
antara singgalang dan buahbatu adalah rindu, begitulah seruku
teramat lapang ini langit, teramat sulit buat digigit
aku kian bergairah; di sini lembu, kuda, tempua, kecebong
segala binatang ikut berseru dari hunianku, ikut berseru sepi
jarak tak merupa benang pintalan biasa (bukan pintalan si tua yang
dengan gemetar menenun kenangan lama di helaian kain satin)
bilamana rindu ini padu menjadi bau gaharu, siapa yang bakal
sanggup menenun makna cinta yang berubah jadi perca?
isyarat mata perdumu, sekumparan kabut lembut penggenap kalut
tapi siapa yang sanggup menelungkupkan tanjungku ke arah lautmu?
kali saja pasir susut, singgalang merupa gundukan tanah biasa
tak bersuara tak berseru, dan buahbatu menghela itu rindu
di ini tahun pucuk cinta menumbuh baru, sesuatu yang padu
digenapkan tubuhmu, dengan bau lokan rebus dan amis susu lembu
akhirnya sajak jadi himpunan bahasa yang tak perlu diberi tahu
dan aku akan berucap mengenai jalang malam menjelma tubuhmu
kiranya kau tak mengerti, sajak tumbuh di dagumu, punggungmu
dadamu, di segala yang ada padamu menumbuhkan gairah sajak
Kandangpadati, 2008
Esha Tegar Putra@esha_tegar
Belum ada Komentar untuk "Mengukur Jarak"
Posting Komentar